- RADIO
Radio adalah
teknologi yang digunakan untuk pengiriman sinyal dengan cara modulasi dan
radiasi (gelombang elektromagnetik). Gelombang ini melintasi dan merambat lewat
udara dan bisa juga merambat lewat ruang angkasa yang hampa udara, karena
gelombang ini tidak memerlukan medium pengangkut (seperti molekul udara).
Radio menurut
ensiklopedi indonesia yaitu: penyampaian informasi dengan pemanfaatan gelombang
elektromagnetik bebas yang memiliki frekuensi kurang dari 300 GHz (panjang
gelombang lebih besar dari 1 mm). Sedangkan istilah Siaran Radio berasal dari
kata radio broadcast, artinya penyampaian informasi kepada khalayak berupa
siaran yang berjalan satu arah dengan memanfaatkan gelombang radio sebagai
media.
Sedangkan menurut
versi undang-undang penyiaran no 32/2002: kegiatan pemancar luasan siaran
melalui sarana pemancaran dan transmisi di darat, laut, atau diantariksa dengan
menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara untuk dapat diterima
serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengn perangkat penerima siaran, yang
dilakukan secara teratur dan berkesinambungan.
Sejarah dan perkembangan Radio di Indonesia
Perkembangan radio secara teknologi bisa dilacak dari penemuan yang dilakukan
oleh Gugleimo Marconi pada abad 19 M. Dengan mendasarkan pada gelombang
elektromagnetik yang ditemukan oleh Heinrich Hertz, Marconi yang berlatar
belakang keluarga kaya di masaya melakukan eksperimen. Eksperimennya sukses
dengan ditandai terkirimnya sinyal melewati sisi perbukitan diluar rumah keluarganya
di Bologna, Italia (Bittner, 1986:97).
Penemuan selanjutnya yang berperan dalam
perkembangan teknologi radio ditemukan oleh J. Ambrose Fleming yang mematenkan
dua elemen tabung penerima sinyal yang disebut sebagai Fleming Valve pada tahun
1904. Penemu lain, Lee de Forest mematenkan audio, yang menjadi perangkat
standar radio sebelum ditemukannya teknologi transistor (Bittner, 1986:98).
Di Indonesia, radio telah mengudara di Indonesia
sejak masa colonial Belanda. Di Kota Solo, Raja Mangkunegara berinisiatif
mendirikan stasiun penyiaran radio pertama bernama Solosche Radio Verenigin
(SVR) pada tahun 1933. Radio SRV menyiarkan program acaranya dalam Bahasa Jawa,
sebuah terobosan mengingat di masa kolonialisme Bahasa Belanda lebih dianggap
terhormat oleh kaum kolonialis. Stasiun radio ini dianggap sebagai titik awal
penyiaran, sehingga ditetapkan sebagai Hari Penyiaran Nasional.
Selain di Solo, stasiun penyiaran radio juga berdiri
di berbagai kota-kota lain, seperti Meyes Omroep Voor Allen (MOVAO) di Medan,
Mataram Voor Radio Vereniging yang berdiri di Yogyakarta, Erst Madiun Radio
Oemroep di Madiun dan Chinnese en Inhemmse Vereniging Oost Java (CIVRO) yang
berdiri di Surabaya. Radio-radio tersebut gayanya masih partikelir atau swasta
yang kelangsungan hidupnya tergantung pada iuran anggota perkumpulan maupun
dari NIROM sebagai kompensasi me-relay acara seni budaya tradisional.
Radio-radio tersebut gayanya masih partikeler atau swasta yang kelangsungan
hidupnya tergantung pada iuran anggota perkumpulan maupun dari NIROM sebagai
kompensasi me-relay acara seni budaya tradisional. Radio-radio yang programnya
berorentasi pada seni budaya daerah ini kemudian pada tahun 1937 mengorganisasi
diri dalam suatu wadah yang disebut sebagai Perikatan Perkumpulan Radio
Ketimuran atau PPRK. Selain-selain radio ini sebenarnya terdapat pula sejumlah
lembaga penyiaran yang menggabungkan diri dalam badan usaha Netherlansche-Indische
Radio Omroep Maataschaappij atau yang lebih popular dengan sebutan NIROM. NIROM
sendiri sebenarnya adalah bada usaha yang didirikan oleh orang-orang yang
kebanyakan dari latar belakang Belanda. Pada tahun 1934 NIROM mendapat lisensi
ijin untuk bersiaran atas nama pemerintah Hindia Belanda (Wild dan Carey dalam
Darmanto, 2004:4).
NIROM berkedudukan di Jakarta sebagai stasiun
pusatnya. Di daerah NIROM memiliki cabang di Surabaya dan Semarang. Selain
memiliki stasiun daerah di kedua daerah tersebut, NIROM juga memiliki stasiun relay di solo, Yogyakarta, cepu, malang,
sukabumi, Cirebon, bogor, padang. Dalam kegiatan operasional siaranya, NIROM
mendapat subsidi dari pemerintah Belanda. Fasilitas yang diberikan pemerintah
colonial Belanda berupa pajak radio dan piringan hitam yang berisi music-musik
lagu tradisional, NIROM mendapatkannya dari radio yang tergabung dalam PPRK
melalui relay. NIROM membayar hak
siar pada radio-radio yang tergantung dalam PPRK atau yang dalam istilah waktu
itu adalah dengan memberikan subsidi (kempen dakam Darmanto, 2013:4).
Selain radio yang tergabung dalam NIROM dan PPRK
juga terdapat juga radio penyiaran jenis lain yaitu VERAL, Van Wingan,
Goldberg, Lyusks dan Lindeteves. Veral adalah radio penyiaran yang diusahakan
oleh orang asing yang berada di Yogyakarta, sedangkan stasiun penyiaran radio
khusus iklan yang diselenggarakan oleh para pedagang dan siaranya diibatasi
siang hari selama 1 jam berisikan informasi mengenai jenis-jenis produk yang
dijual oleh para pengusaha (Darmanto, 2013:4).
Siaran radio berbahasa belanda berhenti ketika bal
tentara Jepang menguasai Indomesia. Kebijakan represif yang diterapkan
pemerintah militer Jepang terhadap kolonialisme belanda menyebabkan kultur
peninggalan Belanda harus ditinggalkan, termasuk siaran radio berbahasa
belanda. Awalnya rakyat Indonesia menerima kedatangan balatentara jepang dengan
sukacita. Kampanye propaganda jepang yang menyatakan akan menjadi pembebas Asia
melahirkan harapan akan kemerdekaan. Pekik”merdeka” pun mulai banyak
berkumandang di masa Belanda dibelengu, mendapatkan kemerdekaanya di awal
kedatangan Jepang. Tapi bulan madu ini tidak berlangsung lama. Pada tanggal 20
Maret 1942, pemerintahan balatentara jepang mengeluarkan suatu undang-undang
yang membatasi kebebasan rakyat. Tentara jepang membentuk badan sensor yang
bertugas melakukan pemeriksaan terhadap film, klise maupun semua barang
cetakan. Sensor ini dilakukan dimarkas badan sensor di Riswijk 18 jakarta
setiap selasa dan jumat jam 09.00 sampai dengan 12.00. ketentuan mengenai wajib
sensor ini kembali ditegaskan melalui maklumat yang dikeluarkan oleh dinas pers
balatentara jepang (Hodohan) tanggal 13 Mei 1942 (latief dalan Darmanto,
2013:18).
Di ranah siaran radio, tentara pendukung jepang
mengambil sikap sangat keras dengan membubarkan semua organisasi penyiaran yang
telah ada sebelumnya, baik PPRK maupun NIROM dan radio siaran lainya. Jepang
membentuk suatu jabatan khusus yang mengurusi soal radio bernama Hoso Kanri Kyoku
yang berpusat di Jakarta.
Pada masa
kemerdekaan, radio berperan besar dalam mengumandangkan berita proklamasi.
Melalui siaran radio Hoso Kanri yang sebernarnya masin dikuasi oleh jepang,
para penyiar yang berada di jalan merdeka barat berhasil menyelundupkan naskah
proklamasi dan membacakan pada jam 19.00 tanggal 17-Agustus-1945. Namun, siaran
tersebut hanya terbatas di sekitar jakarta saja. Kejadian ini kemudian
melahirkan inisiatif dari pihak teknik (operator) bernama Suardi dan Ismaun,
untuk menyalurkan pembacaan teks proklamasi lewat siaran luar negeri yang
terletak dibandung, dua penyiar yang berhasil membacakan naskah keluar negeri
adalah Yusuf Ronodipuro dan Bactiar Lubis (Efenddy dalam Darmanto, 2013:23).
Pemerintah japang yang mengetahui ada siaran di luar kendalali mereka menjadi
marah. Semua stasiun radio Hoso Kyoku ditutup, namun para pegawai Hoso Kyoku
yang pro akan kemerdekaan tidak kehabisan akal. Mereka berpindah-pindah siaran dengan
call stasiun Radio Indonesia Merdeka. Mereka inilah yang berjasa besar
melahirkan Radio Republik Indonesia (RRI). Dengan kemampuannya di bidang
penyiaran radio, para pegawai Hoso Kyoku yang pro kemerdekaan berjasa besar
dalam usaha naskah proklamasi tersiarkan ke berbagai penjuru nusantara.
Siaran radio sampai
dengan dekade 1980-an masih merupakan primadona khalayak. Pilihan media massa
sampai dengan dekade tersebut selain radio, hanya media cetak dan media
televisi serta film. Televisi juga terbatas pada siaran TVRI yang dimiliki oleh
pemerintah. Harga pesawat telefisi yang masih mahal pada masa tersebut juga
menyebabkan penetrasi televisi tidak begitu kuat pada khalayak. Radio, dengan
harganya yang terjangkau, menjadi pilihan khalayak.
Pada mas Orde Baru,
semua stasiun penyiaran radio wajib me-realy
siaran berita RRI yang pada masa tersebut menjadi stasiun radio milik
pemerintah. Radio swasta tidak diperkenankan untuk menyiarkan siaran berita.
Format siaran radio swasta pad masa tersebut umumnya adalah musik, komedi dan
sandiwara radio. Walaupun demikian, era tersebut, terutama pada era 1950-an
sampai dengan 1970-an, RRI menjadi primadona bagi khalayak di Indonesia
(Khalasi,2007:33). Karena pada masa itu televisi belum menyita perhatian
khalayak karena siaran TVRI yang masih terbatas, dan radio swasta juga belum
mampu untuk menyaingi keberadaan RRI.
Melihat dari
sejarah dan perkembangan Radio di Indonesia hingga saat ini, Radio RRI masih
bertahan dan selalu mengudara untuk memberikan informasi kepada khlayak. Dan
seiring perkambangan jaman (Interner) kini telah hadir radio yang dapat kita
dengarkan dan kita lihat secara streaming.
Ini merupakan sebuah inovasi yang sangat tepat agat radio tetap mendapatkan
kepercayaan dari masyarakat dalam menyajikan sebuah informasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar